Rabu, 05 Oktober 2011

Sofskill Etika Bisnis " Etika Bisnis Islam"


Etika Bisnis Islam


Etika bisnis
Etika sebagai praktis berarti : nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktikan atau justru tidak dipraktikan, walaupun seharusnya dipraktikkan. Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika sebagai refleksi kita berfikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Secara filosofi etika memiliki arti yang luas sebagai pengkajian moralitas. Terdapat tiga bidang dengan fungsi dan perwujudannya yaitu etika deskriptif (descriptive ethics), dalam konteks ini secara normatif menjelaskan pengalaman moral secara deskriptif berusaha untuk mengetahui motivasi, kemauan dan tujuan sesuatu tindakan dalam tingkah laku manusia.
Kedua, etika normatif (normative ethics), yang berusaha menjelaskan mengapa manusia bertindak seperti yang mereka lakukan, dan apakah prinsip-prinsip dari kehidupan manusia. Ketiga, metaetika (metaethics), yang berusaha untuk memberikan arti istilah dan bahasa yang dipakai dalam pembicaraan etika, serta cara berfikir yang dipakai untuk membenarkan pernyataan-pernyataan etika. Metaetika mempertanyakan makna yang dikandung oleh istilah-istilah kesusilaan yang dipakai untuk membuat tanggapan-tanggapan kesusilaan (Bambang Rudito dan Melia Famiola: 2007) Apa yang mendasari para pengambil keputusan yang berperan untuk pengambilan keputusan yang tak pantas dalam bekerja? Para manajer menunjuk pada tingkah laku dari atasan-atasan mereka dan sifat alami kebijakan organisasi mengenai pelanggaran etika atau moral. Karenanya kita berasumsi bahwa suatu organisasi etis, merasa terikat dan dapat mendirikan beberapa struktur yang memeriksa prosedur untuk mendorong oraganisasi ke arah etika dan moral bisnis. Organisasi memiliki kode-kode sebagai alat etika perusahaan secara umum. Tetapi timbul pertanyaan: dapatkah suatu organisasi mendorong tingkah laku etis pada pihak manajerial-manajerial pembuat keputusan? (Laura Pincus hartman:1998)
Alasan mengejar keuntungan, atau lebih tepat, keuntungan adalah hal pokok bagi
kelangsungan bisnis merupakan alasan utama bagi setiap perusahaan untuk berprilaku tidak etis. Dari sudut pandang etika, keuntungan bukanlah hal yang buruk, bahkan secara moral keuntungan merupakan hal yang baik dan diterima. Karena pertama, secara moral keuntungan memungkinkan perusahaan bertahan (survive) dalam kegiatan bisnisnya.
Kedua, tanpa memperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal yang bersedia
menanamkan modalnya, dan karena itu berarti tidak akan terjadi aktivitas ekonomi yang produktif dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Ketiga, keuntungan tidak hanya memungkinkan perusahaan survive melainkan dapat menghidupi karyawannya ke arah
tingkat hidup yang lebih baik. Keuntungan dapat dipergunakan sebagai pengembangan (expansi) perusahaan sehingga hal ini akan membuka lapangan kerja baru. Dalam mitos bisnis amoral diatas sering dibayangkan bisnis sebagai sebuah medan pertempuran. Terjun ke dunia bisnis berarti siap untuk betempur habis-habisan dengan sasaran akhir yakni meraih keuntungan, bahkan keuntungan sebesar-besarnya secara konstan. Ini lebih berlaku lagi dalam bisnis global yang mengandalkan persaingan ketat.
Pertanyaan yang harus dijawab adalah, apakah tujuan keuntungan yang dipertaruhkan dalam bisnis itu bertentangan dengan etika? Atau sebaliknya apakah etika bertentangan dengan tujuan bisnis mencari keuntungan? Masih relevankah kita bicara mengenai etika bagi bisnis yang memiliki sasaran akhir memperoleh keuntungan?
Dalam mitos bisnis modern para pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang-orang
profesional di bidangnya. Mereka memiliki keterampilan dan keahlian bisnis melebihi orang kebanyakan, ia harus mampu untuk memperlihatkan kinerja yang berada diatas rata-rata kinerja pelaku bisnis amatir. Yang menarik kinerja ini tidak hanya menyangkut aspek bisnis, manajerial, dan organisasi teknis semata melainkan juga menyangkut aspek etis.
Kinerja yang menjadi prasarat keberhasilan bisnis juga menyangkut komitmen moral, integritas moral, disiplin, loyalitas, kesatuan visi moral, pelayanan, sikap mengutamakan mutu, penghargaan terhadap hak dan kepentingan pihak-pihak terkait yang berkepentingan (stakeholders), yang lama kelamaan akan berkembang menjadi sebuah etos bisnis dalam sebuah perusahaan. Perilaku Rasulullah SAW yang jujur transparan dan pemurah dalam melakukan praktik bisnis merupakan kunci keberhasilannya mengelola bisnis Khodijah ra,
merupakan contoh kongkrit tentang moral dan etika dalam bisnis.
Dalam teori Kontrak Sosial membagi tiga aktivitas bisnis yang terintegrasi. Pertama adalah Hypernorms yang berlaku secara universal yakni ; kebebasan pribadi, keamanan fisik & kesejahteraan, partisipasi politik, persetujuan yang diinformasikan, kepemilikan atas harta, hak-hak untuk penghidupan, martabat yang sama atas masing-masing orang/manusia. Kedua, Kontrak Sosial Makro, landasan dasar global adalah; ruang kosong untuk muatan moral, persetujuan cuma-cuma dan hak-hak untuk diberi jalan keluar, kompatibel dengan hypernorms, prioritas terhadap aturan main. Ketiga, Kontrak Sosial Mikro, sebagai landasan dasar komunitas; tidak berdusta dalam melakukan negosiasi-negosiasi, menghormati semua kontrak, memberi kesempatan dalam merekrut pegawai bagi penduduk lokal, memberi preferensi kontrak para penyalur lokal, menyediakan tempat
kerja yang aman (David J. Frizsche: 1997) Dalam semua hubungan, kepercayaan adalah unsur dasar. Kepercayaan diciptakan dari kejujuran. Kejujuran adalah satu kualitas yang paling sulit dari karakter untuk dicapai didalam bisnis, keluarga, atau dimanapun gelanggang tempat orang-orang berminat untuk melakukan persaingan dengan pihak-pihak lain. Selagi kita muda kita diajarkan, di dalam tiap-tiap kasus ada kebajikan atau hikmah yang terbaik. Kebanyakan dari kita didalam bisnis mempunyai satu misi yang terkait dengan rencana-rencana. Kita mengarahkan energy dan sumber daya kita ke arah tujuan keberhasilan misi kita yang kita kembangkan sepanjang perjanjian-perjanjian. Para pemberi kerja tergantung pada karyawan, para pelanggan tergantung pada para penyalur, bank-bank tergantung pada peminjam dan pada setiap pelaku atau para pihak sekarang tergantung pada para pihak terdahulu dan ini akan berlangsung secara terus menerus. Oleh karena itu kita menemukan bahwa bisnis yang berhasil dalam masa yang panjang akan cenderung untuk membangun semua hubungan atas mutu, kejujuran dan kepercayaan (Richard Lancaster dalam David Stewart: 1996)

Etika Bisnis Islami
Etika bisnis lahir di Amerika pada tahun 1970 an kemudian meluas ke Eropa tahun 1980 an dan menjadi fenomena global di tahun 1990 an jika sebelumnya hanya para teolog dan agamawan yang membicarakan masalah-masalah moral dari bisnis, sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis disekitar bisnis, dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang meliputi dunia bisnis di Amerika
Serikat, akan tetapi ironisnya justru negara Amerika yang paling gigih menolak
kesepakatan Bali pada pertemuan negara-negara dunia tahun 2007 di Bali. Ketika sebagian besar negara-negara peserta mempermasalahkan etika industri negara-negara maju yang menjadi sumber penyebab global warming agar dibatasi, Amerika menolaknya.
Jika kita menelusuri sejarah, dalam agama Islam tampak pandangan positif terhadap perdagangan dan kegiatan ekonomis. Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang,
dan agama Islam disebarluaskan terutama melalui para pedagang muslim. Dalam Al Qur’an terdapat peringatan terhadap penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak dilarang mencari kekayaan dengan cara halal (QS: 2;275) ”Allah telah menghalalkan perdagangan dan melarang riba”. Islam menempatkan aktivitas perdagangan dalam posisi yang amat strategis di tengah kegiatan manusia mencari rezeki dan penghidupan. Hal ini dapat dilihat pada sabda Rasulullah SAW: ”Perhatikan oleh mu sekalian perdagangan, sesungguhnya di dunia perdagangan itu ada sembilan dari sepuluh pintu rezeki”. Dawam Rahardjo justru mencurigai tesis Weber tentang etika Protestantisme, yang menyitir kegiatan bisnis sebagai
tanggungjawab manusia terhadap Tuhan mengutipnya dari ajaran Islam.
Kunci etis dan moral bisnis sesungguhnya terletak pada pelakunya, itu sebabnya misi diutusnya Rasulullah ke dunia adalah untuk memperbaiki akhlak manusia yang telah rusak.
Seorang pengusaha muslim berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis Islami yang mencakup Husnul Khuluq. Pada derajat ini Allah akan melapangkan hatinya, dan akan membukakan pintu rezeki, dimana pintu rezeki akan terbuka dengan akhlak mulia tersebut, akhlak yang baik adalah modal dasar yang akan melahirkan praktik bisnis yang etis dan moralis. Salah satu dari akhlak yang baik dalam bisnis Islam adalah kejujuran (QS: Al Ahzab;70-71). Sebagian dari makna kejujuran adalah seorang pengusaha senantiasa terbuka dan transparan dalam jual belinya ”Tetapkanlah kejujuran karena sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan kepada surga” (Hadits). Akhlak yang lain adalah amanah, Islam menginginkan seorang pebisnis muslim mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya dengan memenuhi hak-hak Allah dan manusia, serta menjaga muamalah nya dari unsur
yang melampaui batas atau sia-sia. Seorang pebisnis muslim adalah sosok yang dapat dipercaya, sehingga ia tidak menzholimi kepercayaan yang diberikan kepadanya ”Tidak ada iman bagi orang yang tidak punya amanat (tidak dapat dipercaya), dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janji”, ”pedagang yang jujur dan amanah (tempatnya di surga) bersama para nabi, Shiddiqin (orang yang jujur) dan para syuhada” (Hadits). Sifat toleran juga merupakan kunci sukses pebisnis muslim, toleran membuka kunci rezeki dan sarana hidup tenang. Manfaat toleran adalah mempermudah pergaulan,
mempermudah urusan jual beli, dan mempercepat kembalinya modal ”Allah mengasihi orang yang lapang dada dalam menjual, dalam membeli serta melunasi hutang” (Hadits).
Konsekuen terhadap akad dan perjanjian merupakan kunci sukses yang lain dalam hal apapun sesungguhnya Allah memerintah kita untuk hal itu ”Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu” (QS: Al- Maidah;1), ”Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya” (QS: Al Isra;34). Menepati janji mengeluarkan orang dari kemunafikan sebagaimana sabda Rasulullah ”Tanda-tanda munafik itu tigaperkara, ketika berbicara ia dusta, ketika sumpah ia mengingkari, ketika dipercaya ia khianat” (Hadits).
Aktivitas Bisnis yang Terlarang dalam Syariah
1. Menghindari transaksi bisnis yang diharamkan agama Islam. Seorang muslim harus komitmen dalam berinteraksi dengan hal-hal yang dihalalkan oleh Allah SWT. Seorang pengusaha muslim tidak boleh melakukan kegiatan bisnis dalam hal-hal yang diharamkan oleh syariah. Dan seorang pengusaha muslim dituntut untuk selalu melakukan usaha yang mendatangkan kebaikan dan masyarakat. Bisnis, makanan tak halal atau mengandung bahan tak halal, minuman keras, narkoba, pelacuran atau semua yang berhubungan dengan dunia gemerlap seperti night club discotic café tempat bercampurnya laki-laki dan wanita disertai lagu-lagu yang menghentak, suguhan minuman dan makanan tak halal dan lain-lain (QS: Al-A’raf;32. QS: Al Maidah;100) adalah kegiatan bisnis yang diharamkan.
2. Menghindari cara memperoleh dan menggunakan harta secara tidak halal. Praktik riba yang menyengsarakan agar dihindari, Islam melarang riba dengan ancaman berat (QS: Al Baqarah;275-279), sementara transaksi spekulatif amat erat kaitannya dengan bisnis yang tidak transparan seperti perjudian, penipuan, melanggar amanah sehingga besar kemungkinan akan merugikan. Penimbunan harta agar mematikan fungsinya untuk dinikmati oleh orang lain serta mempersempit ruang usaha dan aktivitas ekonomi adalah perbuatan tercela dan mendapat ganjaran yang amat berat (QS:At Taubah; 34 – 35). Berlebihan dan menghamburkan uang untuk tujuan yang tidak bermanfaat dan berfoya-foya kesemuanya merupakan perbuatan yang melampaui batas. Kesemua sifat tersebut dilarang karena merupakan sifat yang tidak bijaksana dalam penggunaan harta
dan bertentangan dengan perintah Allah (QS: Al a’raf;31).
3. Persaingan yang tidak fair sangat dicela oleh Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah: 188: ”Janganlah kamu memakan sebagian harta sebagian kamu dengan cara yang batil”. Monopoli juga termasuk persaingan yang tidak fair Rasulullah mencela perbuatan tersebut : ”Barangsiapa yang melakukan monopoli maka dia telah bersalah”, ”Seorang tengkulak itu diberi rezeki oleh Allah adapun sesorang yang melakukan monopoli itu dilaknat”. Monopoli dilakukan agar memperoleh penguasaan pasar dengan mencegah pelaku lain untuk menyainginya dengan berbagai cara, seringkali dengan cara-cara yang tidak terpuji tujuannya adalah untuk memahalkan harga agar pengusaha tersebut mendapat keuntungan yang sangat besar. Rasulullah bersabda : ”Seseorang yang sengaja melakukan sesuatu untuk memahalkan harga, niscaya Allah akan menjanjikan kepada singgasana yang terbuat dari api neraka
kelak di hari kiamat”.
4. Pemalsuan dan penipuan, Islam sangat melarang memalsu dan menipu karena dapat menyebabkan kerugian, kezaliman, serta dapat menimbulkan permusuhan dan percekcokan. Allah berfirman dalam QS:Al-Isra;35: ”Dan sempurnakanlah takaran ketika kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar”. Nabi bersabda ”Apabila kamu menjual maka jangan menipu orang dengan kata-kata manis”. Dalam bisnis modern paling tidak kita menyaksikan cara-cara tidak terpuji yang dilakukan sebagian pebisnis dalam melakukan penawaran produknya, yang dilarang dalam ajaran Islam. Berbagai bentuk penawaran (promosi) yang dilarang tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a) Penawaran dan pengakuan (testimoni) fiktif, bentuk penawaran yang dilakukan
oleh penjual seolah barang dagangannya ditawar banyak pembeli, atau seorang
artis yang memberikan testimoni keunggulan suatu produk padahal ia sendiri tidak
mengkonsumsinya.
b) Iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan, berbagai iklan yang sering kita saksikan di media televisi, atau dipajang di media cetak, media indoor maupun outdoor, atau kita dengarkan lewat radio seringkali memberikan keterangan palsu.
c) Eksploitasi wanita, produk-produk seperti, kosmetika, perawatan tubuh, maupun
produk lainnya seringkali melakukan eksploitasi tubuh wanita agar iklannya dianggap menarik. Atau dalam suatu pameran banyak perusahaan yang menggunakan wanita berpakaian minim menjadi penjaga stand pameran produk
mereka dan menugaskan wanita tersebut merayu pembeli agar melakukan pembelian terhadap produk mereka.
Model promosi tersebut dapat kita kategorikan melanggar ’akhlaqul karimah’, Islam sebagai agama yang menyeluruh mengatur tata cara hidup manusia, setiap bagian tidak dapat dipisahkan dengan bagian yang lain. Demikian pula pada proses jual beli harus dikaitkan dengan ’etika Islam’ sebagai bagian utama. Jika penguasa ingin mendapatkan rezeki yang barokah, dan dengan profesi sebagai pedagang tentu ingin dinaikkan derajatnya setara dengan para Nabi, maka ia harus mengikuti syari’ah Islam secara menyeluruh, termasuk ’etika jual beli’.
Etika Pemasaran
Dalam konteks etika pemasaran yang bernuansa Islami, dapat dicari pertimbangan dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an memberikan dua persyaratan dalam proses bisnis yakni persyaratan horizontal (kemanusiaan) dan persyaratan vertikal (spritual). Surat Al-Baqarah menyebutkan ”Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada yang diragukan didalamnya. Menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa”. Ayat ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam etika marketing:
1. Allah memberi jaminan terhadap kebenaran Al-Qur’an, sebagai reability product
guarantee.
2. Allah menjelaskan manfaat Al-Qur’an sebagai produk karyaNya, yakni menjadi hudan (petunjuk).
3. Allah menjelaskan objek, sasaran, customer, sekaligus target penggunaan kitab suci tersebut, yakni orang-orang yang bertakwa.
Isyarat diatas sangat relevan dipedomani dalam melakukan proses marketing, sebab marketing merupakan bagian yang sangat penting dan menjadi mesin suatu perusahaan.
Mengambil petunjuk dari kalimat ”jaminan” yang dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an, maka dalam rangka penjualan itupun kita harus dapat memberikan jaminan bagi produk yang kita miliki. Jaminan tersebut mencakup dua aspek:
􀂷 Aspek material, yakni mutu bahan, mutu pengobatan, dan mutu penyajian.
􀂷 Aspek non material, mencakup; ke-Halalan, ke-Thaharahan (Higienis), dan ke-Islaman dalam penyajian.
Bahwa jaminan terhadap kebaikan makanan itu baru sebagian dari jaminan yang perlu diberikan, disamping ke-Islaman sebagai proses pengolahan dan penyajian, serta ke-Halalan, ke-Thaharahan. Jadi totalitas dari keseluruhan pekerjaan dan semua bidang kerja yang ditangani di dalam dan di luar perusahaan merupakan integritas dari ”jaminan”.
Urutan kedua yang dijelaskan Allah adalah manfaat dari apa yang dipasarkan. Jika ini dijadikan dasar dalam upaya marketing, maka yang perlu dilakukan adalah memberikan penjelasan mengenai manfaat produk (ingridients) atau manfaat proses produksi dijalankan. Adapun metode yang dapat digunakan petunjuk Allah: ”Beritahukanlah kepadaku (berdasarkan pengetahuan) jika kamu memang orang-orang yang benar”. (QS:Al-An’am;143). Ayat tersebut mengajarkan kepada kita bahwa untuk meyakinkan seseorang terhadap kebaikan yang kita jelaskan haruslah berdasarkan ilmu pengetahuan, data dan fakta. Jadi dalam menjelaskan manfaat produk, nampaknya peranan data dan fakta sangat penting, bahkan seringkali data dan fakta jauh lebih berpengaruh disbanding penjelasan. Sebagaimana orang yang sedang dalam program diet sering kali memperhatikan komposisi informasi gizi yang terkandung dalam kemasan makanan yang akan dibelinya.
Ketiga adalah penjelasan mengenai sasaran atau customer dari produk yang kita miliki. Dalam hal ini kita dapat menjelaskan bahwa makanan yang halal dan baik (halalan thoyyiban), yang akan menjadi darah dan daging manusia, akan membuat kita menjadi taat kepada Allah, sebab konsumsi yang dapat mengantarkan manusia kepada ketakwaan harus memenuhi tiga unsur :
1.     􀂷 Materi yang halal
2.     􀂷 Proses pengolahan yang bersih (Higienis)
3.     􀂷 Penyajian yang Islami
Etika Marketing dapat dijabarkan dalam diagram berikut :
Sumber : Islamic Business Strategy for Entrepreneurship, Tim Multitama Communication, 2007 Perusahaan Menjual Al-Qur’an Al-Hadits Menjamin Kriteria Penggunaan Konsumen Sehat, Cerdas, Muttaqin Menjelaskan Kegunaan Produksi Dalam proses pemasaran promosi merupakan bagian penting, promosi adalah upaya menawarkan barang dagangan kepada calon pembeli. Bagaimana seseorang sebaiknya mempromosikan barang dagangannya? Selain sebagai Nabi Rasulullah memberikan teknik sales promotion yang jitu kepada seorang pedagang. Dalam suatu kesempatan beliau mendapati seseorang sedang menawarkan barang dagangannya. Dilihatnya ada yang janggal pada diri orang tersebut. Beliau kemudian memberikan advis kepadanya : ”Rasulullah lewat di depan sesorang yang sedang menawarkan baju dagangannya. Orang tersebut jangkung sedang baju yang ditawarkan pendek. Kemudian Rasululllah berkata;
”Duduklah! Sesungguhnya kamu menawarkan dengan duduk itu lebih mudah
mendatangkan rezeki.” (Hadits).
Dengan demikian promosi harus dilakukan dengan cara yang tepat, sehingga menarik minat calon pembeli. Faktor tempat dan cara penyajian serta teknik untuk menawarkan produk dilakukan dengan cara yang menarik. Faktor tempat meliputi desain interior yang serasi yang serasi, letak barang yang mudah dilihat, teratur, rapi dan sebagainya.
Memperhatikan hadits Rasulullah diatas sikap seorang penjual juga merupakan faktor yang harus diperhatikan bagi keberhasilan penjualan. Selain faktor tempat, desain interior, letak barang dan lain-lain.
Kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dalam Islam posisi pebisnis pada dasarnya adalah profesi yang terpuji dan mendapat posisi yang tinggi sepanjang ia mengikuti koridor syari’ah. Muamalah dalam bentuk apapun diperbolehkan sepanjang ia tidak melanggar dalil syar’i. Islam melarang seorang Muslim melakukan hal yang merugikan dan mengakibatkan kerusakan bagi orang lain sebagaimana disebutkan dalam haditsnya. Rasululllah bersabda :
”La dlaraara wala dliraara” (HR. Ibn Abbas).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar